Rabu, 27 Mei 2015

sejarah sastra Angkatan 30-an

SASTRA PERIODE TAHUN 30 DI LUAR PUJANGGA BARU A. Teeuw membagi sastra Indonesia sebelum perang menjadi tiga golongan, yaitu: (1) sastra hasil Pujangga Baru; (2) sastra penerbitan Balai Pustaka; dan (3) sastra berupa seri cerita-cerita roman. Batas antara ketiga golongan itu tidak jelas benar, masing-masing saling melengkapi satu dengan yang lain. Walaupun karya Suman Hs. sebagian masuk golongan satu, setengahnya masuk golongan tiga. Demikian pula HAMKA, sebagai pengarang ia jarang dimasukkan ke dalam golongan satu atau dua karena hasil sastra sebagian besar penerbitannya melalui golongan tiga, tetapi karangan-karangannya sebagian bersifat sastra golongan dua. Sastra periode tahun 1930 di luar Pujangga Baru umumnya berupa seri cerita-cerita roman yang diterbitkan di kota-kota besar, seperti Semarang, Padang, Solo, Surabaya, dan yang terutama ialah Medan. Oleh karena itu, sering disebut juga sastra penerbitan Medan. Seri cerita-cerita roman adalah penerbitan roman atau novel berjilid-jilid dalam satu seri dengan nama bermacam-macam, misalnya Seri Roman Indonesia di Padang, Dunia Pengalaman, dan Lukisan Pujangga di Medan, Seri Suasana Baru, Seri Kejora, Seri Panorama, dan lain-lain. Tidak semua penerbitan seri cerita roman beruparoman picisan, walaupun sebagian nilai sastranya memang kurang. Demikian pula seorang pengarang yang telah banyak menulis cerita yang dinilai sebagai roman picisan, tidak berarti bahwa semua karangannya tidak ada yang bernilai sastra. Hal ini perlu ditegaskan untuk menghindari penilaian yang kurang tepat tentang diri seorang pengarang dan hasil karangannya. Seorang pengarang yang penting di luar golongan satu dan dua, dan hasil sastra yang mempunyai kedudukan penting dalam sejarah sastra Indonesia ialah Hamka. Berhubungan dengan itu, kedua hala tersebut akan diuraikan secara ringkas tentang dua hal tersebut, yaitu roman picisan dan Hamka. 1. Roman Picisan Dalam bahasa Belanda ada istilah stuiversroman, yang maksudnya hampir sama dengan roman atau novel picisan dalam bahasa Indonesia. Keduanya menunjukkan pada pengertian sesuatu yang kurang bernilai atau kurang berharga; walaupun istilah yang digunakan berbeda (stuiver = 5 sen; sepicis = 10 sen). Roman picisan adalah jenis bacaan dalam buku-buku kecil yang berisi cerita roman atau novel yang umumnya termasuk dalam suatu seri dan yang dipandang dari penilaian sastra banyak mengandung kelemahan. Roman picisan itu banyak diterbitkan di kota-kota besar terutama di daerah Sumatera Timur. Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua roman picisan tidak ada yang bernilai sastra sebab dalam beberapa hal penyimpangan itu selalu ada. Sesuai dengan tulisan R. Roolving tentang Roman Picisan Bahasa Indonesia yang dimuat sebagai lampiran pada buku Pokok dan Tokohdalam Kesusastraan Indonesia Baru karangan A. Teeuw, maka beberapa corak seri roman picisan ini dapat di simpulkan sebagai berikut: a. Penerbitan roman picisan pada umumnya bersifat perdagangan sehingga isi dan sifat ceritanya lebih banyak diarahkan pada selera pembaca. Cerita-ceritanya bersifat dramatis, kocak sesuai kehendak zaman, tentang cinta yang cengeng, dan banyak pula yang mengandung unsur detektif walaupun dalam tingkat sederhana sesuai dengan tingkat kecerdasan masyarakat pada umumnya. b. Lukisan watak-watak pelakunya kurang mendalam dan tidak cocok dengan kenyataan hidup manusia yang sesungguhnya. Seakan-akan hanya ada dua watak manusia, yaitu baik atau buruk saja, tanpa variasi. Tentang lukisan watak tersebut Roolvink berkata sebagai berikut: “Dipandang dari kesusastraan buku-buku itu tidaklah dapat dikatakan berhasil. Jalan ceritanya biasanya indah, tetapi tidak mendalam sedikit pun. Orang-orang serta tabiat-tabiat yang dilukiskan samar saja dan tidak sampai diperkembangkan, jangan lagi untuk dikatakan bahwa lukisan-lukisan watak itu menurut ilmu jiwa dapat dipertanggungjawabkan, supaya gerak-gerik masing-masing pelaku dalam buku-buku itu dapat masuk pada akal.” (Teeuw, 1953: 243) c. Persoalan ceritanya berhubungan dengan pertentangan antara kebudayaan kota modern dengan kebudayaan kuno, kolot, tua, dan sebagainya. Oleh karena itu, pada umumnya cerita-cerita roman picisan itu bermain di kota-kota besar dengan kehidupan kota yang dipandangnya serba modern: menonton bioskop, makan minum di restoran, menghisap rokok yang serba mahal, pergi tamasya, dan lain-lain. Demikian pula cara berhias serba modern, secara Barat dengan model-model terakhir. d. Sering dalam cerita itu sering disisipkan reklame atau propaganda untuk sesuatu badan usaha atau untuk barang dagangan. Dalam perkembangan teknik reklame, cara seperti itu sekarang banyak dikembangkan melalui cerita-cerita pedalaman , sandiwara radio, dan sebagainya. e. Komposisi cerita dan bahasa yang dipergunakan umumnya kurang terpelihara. Komposisi ceritanya sering tidak runtut, hubungan kausalitasnya tidak jelas. Bahasa yang digunakan lancar, tetapi pemilihan kata, pemakaian perbandingan, dan tanda bacanya sering kurang tepat. Apa yang dikemukakan di atas adalah ciri roman atau novel picisan pada umumnya. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa setiap roman picisan mengandung semua ciri tersebut. Ada berbagai variasi antara satu cerita dengan cerita yang lain. Bahkan, ada pula yang sebagian terluput dari ciri-ciri itu. Mungkin secara keseluruhan suatu roman picisan ditinjau dari segi nilai sastranya kurang berharga, tetapi cerita itu tetap berharga ditinjau dari segi lain. Paling tidak, bacaan itu ðapat memberi kesan tentang kehidupan dalam kota-kota besar dan tentang kebudayaan kota Indonesia modern. Lagipula tak dapat sastra itu diabaikan begitu saja dalam menjawab pertanyaan apakah sekarang yang dibaca di Indonesia. Dalam sastra itu terbayang kehidupan rakyat jelata Indonesia modern.” (Teeuw, 1953: 250). Selain itu, ada pula manfaatnya yang lain. Roman picisan sebagai suatu bacaan populer yang dapat mencapai sebagian besar lingkungan masyarakat luas, banyak yang mengandung kritik terhadap beberapa hal yang dipandang kurang baik oleh masyarakat, misalnya tentang bahaya judi, tentang sikap hidup yang berlebih-lebihan, dan lain-lain. Beberapa pengarang yang sebagian karangannya termasuk roman picisan, antara lain yaitu: a. Matu Mona (nama sebenarnya Hasbullah Parinduri), beberapa karangannya ialah: Harta Terpendam, Spionagendiest, Rol Pacar Merah Indonesia, Panggilan Tanah Air, Ja Umenek Jadi-Jadian, Zaman Gemilang. Karangannya Zaman Gemilang merupakan hasil Matu Mona yang paling baik; yang sebenarnya kurang tepat untuk disebut sebagai roman picisan. b. A. Damhuri. Hasil karangannya: Mayapada, Bergelimang Dosa, Depok Anak Pagai, Mencari Jodoh, Terompah Usang yang Tak Sudah Dijahit (1953). c. Yusuf Sou’yb. Hasil karangannya yang terkenal ialah Elang Emas yang terdiri atas beberapa jilid. d. Imam Supardi. Karangannya berupa sebuah novel kecil melalui penerbitan di Surabaya berjudul Kintamani. 2. Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amarullah) Kecuali menggunakan nama singkatan, Hamka sering menggunakan nama samaran: A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki. Ia lahir di Sungai Batang, Maninjau, 16 Pebruari 1908, anak seorang ulama besar yang bernama Doktor Haji Abdul Karim Amarullah. Hamka memang memiliki kecakapan menulis dan hasilnya produktif sekali. Karangannya meliputi berbagai bidang: sastra, filsafat, agama, kemasyarakatan, ketatanegaraan, sejarah, dan lain-lain. Hamka terkenal sebagai pengarang Islam, dan paham Islam itu terpancar pada semua karangannya. Sebagian besar hasil karangannya pertama kali dimuat dalam majalah-majalah Islam juga, misalnya Di Bawah Lindungan Ka’bah terbit sebagai feuilletan (cerita bersambung) dalam majalah Pedoman Masyarakat (1936); dan juga kumpulan cerpennya Di Dalam Lembah Kehidupan (1940) pernah dimuat secara terpisah dalam majalah itu juga. Novel Hamka yang pertama berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah tersebut kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1938 dan ternyata pada tahun 1962 telah mencapai cetak ulang ke-9. Hal ini menunjukkan betapa populernya cerita tersebut dalam masyarakat. Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah mempunyai sifat-sifat menarik. Novel tersebut dimulai dengan suatu “Cerita dari Mesir” yang berisi persetujuan sahabat Hamka tentang maksud penyusunan karangan novel itu; surat pada permulaan novel itu serta ceritanya yang berbentuk “aku” memberi kesan yang meyakinkan pembaca, bahwa cerita novel tersebut benar-benar terjadi (bersifat autentik). Memang, Hamka pandai benar menjalin peristiwa-peristiwa dalam komposisi cerita yang mengasyikkan. Dipilihnya peristiwa-peristiwa yang sungguh-sungguh penting dan kemudian dipadatkan lagi dengan sisipan surat-surat sehingga novel yang tebalnya 67 halaman itu cukup memberikan gambaran selengkapnya tentang kehidupan pelaku-pelakunya. Ceritanya melukiskan cinta kasih antara Hamid dan Zainab yang tetap membara di hati masing-masing dan tidak sampai pada jenjang perkawinan karena perbedaan martabat dan kedudukan. Hamid sejak kecil setelah ayahnya meninggal, tinggal bersama ibunya. Ia kemudian disekolahkan Haji Jafar, seorang saudagar kaya yang mempunyai anak perempuan bernama Zainab. Hamid sekolah bersama Zainab. Antara keduanya timbul jalinan cinta kasih yang tersembunyi dalam-dalam. Karena ibu Hamid menyadari keadaan dirinya maka sebelum meninggal, ia berpesan kepada anaknya agar api cinta itu dipadamkan dan Hamid berjanji akan memenuhi nasihat ibunya itu. Ibu Zainab bermaksud mengawinkan anaknya dengan saudara sepupunya dan untuk maksud itu Hamid diminta untuk melunakkan hati Zainab. Meskipun berat di hati, dilakukan juga permintaan itu, dan ternyata tidak berhasil. Hamid kemudian mengembara meninggalkan kampung halaman menuju ke Mekkah, dengan maksud untuk memadamkan api cinta yang tumbuh di hatinya. Kedatangan temannya yang bernama Saleh ke Mekkah, yang menceritakan bahwa Zainab tetap mencintainya, menyalakan kembali api cinta yang hampir padam. Akan tetapi, beberapa waktu kemudian datang kabar dari istri Saleh, bahwa Zainab meninggal karena sakit menahan rindu. Mendengar itu Hamid jatuh sakit dan meninggal di bawah lindungan Ka’bah. Saleh itulah yang kemudian memberikan persetujuan kepada Hamka untuk menuliskan kisah temannya itu dalam suatu karangan. Hamka suka pada hal yang sedih-sedih dan sebagian besar ceritanya melukiskan hal-hal yang menyedihkan. Dengan bahasa yang merayu dan menawan hati, membaca cerita Hamka kita di bawa ikut merasakan yang sedih-sedih itu. Sungguh-sungguh terharu hati kita bila membaca surat-surat dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah. Oleh karena itu, Hamka sering disebut juga pujangga “air mata”. Plot cerita novel itu pun mempunyai keistimewaan. Dengan bentuk “aku” pengarang mulai bercerita sesudah menerima surat dari Mesir. Akan tetapi, “aku” pengarang tidak terus menerus bercerita. Mulai bab kedua disuruhnya tokoh utama Hamid bercerita sendiri. Dengan demikian, “aku” dalam cerita itu bukan “aku” pengarang selalu. Yunus Amir Hamzah mengemukakan skema plot novel tersebut sebagai berikut: Pada tahun tiga puluhan masih jarang novel yang memberi sudut pandang cerita (point of view) bentuk “aku”, lebih-lebih yang kemudian dijalin dalam plot yang rumit seperti skema di atas. Novel Hamka yang kedua berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Novel ini terbit pada tahun 1938 dan ternyata pada tahun 1959 telah mengalami cetak ulang yang ke-9. Tampaknya lebih populer daripada yang pertama, tetapi nilai sastra yang pertama lebih berhasil. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck lebih tebal dari novel hamka yang pertama, terdiri atas 200 halaman (cet. 9). Ceritanya berbentuk “dia” (author omniscient) dan sisipan surat-surat dalam cerita mencapai jumlah 31 buah. Berbeda dengan novelnya yang pertama, surat-surat dalam novelnya yang kedua ini tidak fungsional, tidak memadatkan cerita, tetapi lebih banyak mengulang kembali sesuatu yang sudah diceritakan. Tema ceritanya hampir sama, yaitu masalah “kasih tak sampai”. Zainuddin yang sudah sepakat hidup bersama dengan Hayati, lamarannya ditolak oleh orang tua Hayati karena Zainuddin bukan orang berbangsa dan tidak kaya pula. Hayati kawin dengan Azis yang oleh orangtuanya dipandang lebih kaya dan orang berketurunan. Cerita kemudian pindah tempat, dari Padang ke Surabaya. Di Surabaya Zainuddin menjadi seorang pengarang dan penulis cerita-cerita sandiwara yang terkenal. Sebaliknya, di kota ini rumah tangga Azis mengalami kesulitan-kesulitan dan karena tidak tahan lagi, Azis mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Hayati ingin kembali kepada Zainuddin. Walaupun cinta Zainuddin kepada Hayati tidak pernah padam, ditekannya perasaan itu dan keinginan Hayati ditolak oleh Zainuddin, bahkan Hayati disuruhnya pulang ke Padang. Hayati menumpang kapal Van der Wijck dari Surabaya, dan belum lama kapal itu berangkat tiba-tiba tenggelam. Karena kecelakaan itu, Hayati sakit parah dan dibawa ke rumah sakit Lamongan. Sebelum meninggal ia masih sempat bertemu dengan Zainuddin yang datang menyusulnya. Tak lama kemudian karena tak tahan menanggung penyesalan, Zainuddin pun meninggal dan dikuburkan dekat kuburan Hayati. Menilik cerita di atas, judul novel dengan cerita tersebut tidak terjalin secara organis, karena tenggelamnya kapal Van der Wijck hanya suatu peristiwa yang terdapat pada bagian akhir cerita sebelumnya. Kecuali bahasanya yang merayu-rayu dan akhir cerita yang menyedihkan, tokoh utama dalam novel-novel Hamka adalah tokoh yang ideal, tokoh manusia suci yang sukar diperoleh contohnya dalam masyarakat. Pada tahun 1962, novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dihebohkan oleh masyarakat, terutama oleh Lekra sebagai novel plagiat (curian) dalam novel dalam bahasa Prancis yang berjudul Sous Les Tilleuls (Di Bawah Naungan Pohon Tillia) karangan Alphonse Karr (1808-1890). Novel Baptisto Alphonse Karr tersebut pernah disadur ke dalam bahasa Arab oleh Mustafa Luttfi al-Manfaluthi (1876-1924) dengan judul Majdulin. Al-Manfaluthi adalah seorang pengarang Arab-Mesir yang sangat dikagumi Hamka. Karena timbul heboh itu, Majdulin kemudian diterjemahkan oleh A.S. Alatas ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Maghdalena (1963). Menghadapi plagiat tidaknya novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck yang menjadi heboh itu, H.B. Jassin sebagai seorang kritikus yang terkenal menegaskan bahwa novel itu bukan jiplakan karena di dalamnya ada pemikiran, penghayatan, dan pengalaman Hamka sendiri. Adanya pengaruh berarti bukan plagiat. Karangan Hamka yang lain adalah kumpulan cerpen yang berjudul Di Dalam Lembah Kehidupan. Sesuai dengan judulnya, cerpen yang terdapat di dalamnya mengisahkan nasib kehidupan seseorang yang penuh penderitaan. Kecuali yang tersebut di atas, karangan Hamka yang lain yaitu Laila Majnun (1933); Salahnya Sendiri (1939); Karena Fitnah (1938); Keadilan Ilahi (1940); Dijemput Mamaknya (1962); Menunggu Beduk Berbunyi (1950); Terusir (1951); Merantau ke Deli (1959); dan Tuan Direktur (1961). Hamka menulis pula riwayat hidupnya sendiri (autobiografi) dengan judul Kenang-Kenangan Hidup (4 jilid) terbit tahun 1951 dan riwayat hidup (biografi) ayahnya Dr. Abdul Karim Amarullah dengan judul Ayahku (1958). Ia juga menerjemahkan karangan Alexander Dumas ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Margaretha Cauthir (1960). Kisah perjalanan karangan Hamka yang telah diterbitkan ialah Tinjauan di Lembah Nil (1951); di Tepi Sungai Dajlah (1953); Mandi Cahaya di Tanah Suci (1953); dan Empat Bulan di Amerika (1954). Dari semua karangan Hamka, baik yang bersifat sastra maupun yang berhubungan dengan filsafat, ketatanegaraan, dan lain-lain, jelas sekali adanya napas ajaran Islam di dalamnya, yaitu ajaran Islam sebagai suatu keyakinan, bukan sebagai suatu permasalahan\ sumber :1. SEJARAH SASTRA INDONESIA MEDRERN (Prof. Drs. H. Sarwadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar